Saturday, 2 January 2010

Binder, oh, Binder

Hiyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa, oh no. I’m getting mad >_<
Gyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa~
Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaahhh!!! Tidaaaaaaaaakkkk!! *teriak-teriak histeris*

Baiklah. Apa yang menyebabkanku seperti ini? Oke. Aku akan menceritakannya. *menghela nafas*

Aku sedang mengalami suatu perasaan kehilangan yang sangat dalam. Yah, perasaan kehilangan. Ada suatu kegelisahan yang tiada taranya. Hatiku bergejolak karenanya. Rasanya tidak damai sejahtera.

Detik demi detik aku memikirkannya. Aku tidak tahu apalagi yang harus aku perbuat tanpanya. *berlinang air mata* Hiks. Segala yang aku inginkan ada padanya. Aku seperti orang bingung, linglung. Tidak! Aku bertanya-tanya, kenapa ini harus terjadi? Perasaan kehilangan yang begitu dalam. Bahkan lebih dalam dari samudera. *nangis-nangis najong*

Dua tahun aku lalui bersama-sama dengannya. Sehari tak bersamanya, hatiku begitu terasa hampa. Dialah yang mengisi keseharianku. Dialah yang melengkapi hidupku. Dialah sumber kesuksesanku, kuliahku. Yah. *menerawang menatap langit*

Oh, binder kuliahku. Dimanakah engkau berada? Sebentar lagi, hari-hari yang menegangkan akan dimulai. Ujian demi ujian akan datang. Sanggupkah aku melewatinya tanpa dirimu, oh binderku? Catatan-catatan penjelasan dosen ada padamu. Jadwal ujianku pun ada padamu. Bahkan segala curahan hatiku ketika berada di kelas, engkau yang paling tahu. Ketika aku ngantuk di kelas, ketika aku bosan, ketika aku pura-pura ngitung pas di suruh ngitung sama dosen, ketika aku sedang bersemangat mencatat, bahkan uneg-unegku tentang Natal UK2P *yang baik-baik juga deh, biar gak berkesan jelek-jelek amat pas aku lagi kuliah, hahahaha*

Begitu besar rasa kehilangan ini. Dimanakah engkau, hai binderku? Mengapa engkau bersembunyi dari padaku? *mau ngomong lupa taroh di mana aja susah, hahaha*

Di saat niat belajar mulai tumbuh dan bermekaran, mengapa engkau meninggalkanku, oh binder kuningku? Betapa berharganya dirimu *hanya di kala ujian akhir semester menerjang menerpa* Sejak peristiwa hilangnya dirimu, aku baru menyadari betapa pentingnya dirimu. Oh, binderku. Kembalilah. Aku mau belajar neeeeehhh! Hahahaha..

NB: Akhirnya dirimu kutemukan juga. Hahahahahaha.. Aku tidak akan menyianyiakanmu lagi, oh binderku.

Friday, 1 January 2010

Seorang Bapa

Happy New Year, everyone^^
365 days ended. But we still have 365 days in these new year to pass. Lift your head up guys, spread your wings and soar.

Well, I’m going to start writing a new story of life in this first day of the year. Yes, I am absolutely ready for this. =)

Seorang Bapa

Yah, sip. Bener. Apa yang akan aku bahas nggak akan jauh-jauh dari itu. Aku menyadari bahwa figur seorang ayah itu sangat penting. Haha, bukan berarti aku bilang figur ibu tidak penting. No. Tapi, aku cuma pengen mengaitkannya dengan figur Bapa di Surga.

Ehem. Pertama-tama aku pengen cerita tentang Papaku. Yes. Papa biologis, bukan Papa rohani. Hehe. Dia adalah seorang bapak-bapak. Berumur sekitar 50 tahun. Lahir dan dibesarkan di sebuah kota kecil di Kediri. Anak kedua dari 5 bersaudara. Beliau adalah alumni jurusan Teknik Elektro Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Tapi, bukan ini inti ceritanya. Tenang. Sabar. Aku pasti akan bercerita. Tenang, tenang. Tolong tenang. *eheeeemm, berdeham* Baiklah. Beliau bernama Bapak Tedjo Suwanto. *standing ovation, terus waving kayak di pertandingan bola*

Oke, cukup. Baiklah. Saya akan serius.

Jujur, sejujur-jujurnya *sueerrr!*, aku sangat menyayangi beliau. Haha. Ya pastilah. Tetapi, ada banyak hal dalam diri beliau yang membuatku, rasanya tuhh, euuuugghhhh, gimanaaaaa getoo. Iya. Aku sangat bangga memiliki bapak seperti dia. Uhum. Kalo disuruh milih, antara Mama dan Papa mana yang lebih sayang, aku pasti pilih Papaku. Bukan berarti aku nggak sayang sama Mama. Nope. Tidak. Aku juga menyayangi Mamaku, tetapi kalo deket-deketan, aku lebih deket sama si Papa.

Lhoooo?? Whyyyyyy? W-H-Y? Kan aku cewek? *soooooo?????*

Hahaha. Sebenernya bukan masalah aku cewek ato cowok. Memang biasanya, paradigma *cieelah, bahasanya paradigma* yang ada masyarakat, anak cewek itu lebih deket ama Mama dan anak cowok lebih deket ama Papa. Well, that isn’t wrong. Tapi ga selalu kayak gitu juga. Aku adalah salah satunya. Ya, lebih deket ama Papa.
Dan, ada satu peristiwa yang tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku. Berkaitan dengan keluargaku dan peranan Papaku sebagai kepala keluarga. Ya. Peristiwa yang cukup mengguncangkan aku dan keluargaku. Sebenernya masalah yang simpel. Tapi mungkin karena kondisi tubuh kurang fit karena kecapekan (baru pulang dari Jogja nih), semua orang pada emosi jiwa. Intinya, semuanya terjadi seperti travo yang meledak. Bum! Dan terjadilah kebakaran. (Mentang-mentang habis ngeliat peristiwa kebakaran secara live di Pasar Gede, Solo). Bukan kebakaran beneran. Itu cuma perumpamaan. Hehe.

Ketika melihat peristiwa itu, aku berlari ketakutan. Sangat takut. Aku tidak pernah setakut itu sebelumnya. Aku berlari dan naik ke kamarku. Aku berdoa sambil ketakutan juga menangis, “Tuhan, selamatkanlah keluargaku.”
Aku terus menerus mengulang doa yang sama. Aku sempat meng-sms dan menelepon beberapa kakak-kakak rohaniku, salah satunya adalah tudung rohani adikku. Aku bercerita apa yang bisa aku ceritakan. Aku tahu, bukan karena doa-doa kami. Tetapi, melalui peristiwa ini, aku diajarkan tentang pentingnya mengandalkan Tuhan, mengalahkan rasa takut, dan percaya. Ya. Tuhan pasti menyelamatkan keluargaku.

Ya, kasih Tuhan ada pada keluarga kami. Setelah keadaan udah agak tenang. Papa mendatangiku dan adik Trisa. Beliau mengumpulkan kami. Juga memanggil adikku, si Adit. Kami berkumpul. Papa mengajak kami berdoa bersama untuk pengakuan dosa. Waktu itu, doa terasa sangat mengharukan. *menghela nafas*

Setelah selesai berdoa, Papa memeluk kami satu per satu sambil mengucapkan kata-kata berkat buat kami. Sangat mengharukan. Kemudian beliau mengajak kami mengevaluasi diri kami dan keluarga. Bercerita apa adanya tentang keluarga, kuliah, sampai berbicara tentang bagaimana tentang cara orang tua mendidik anak dan bagaimana seharusnya sikap anak terhadap orang tua.

Itulah. Papaku. Aku begitu bangga memiliki ayah seperti Dia. Aku bersyukur memiliki figur ayah yang baik. Dan figur Bapa di Surga pasti lebih dari ayahku yang ada di bumi. Seorang Bapa. Nggak hanya ngasih yang baik-baik. Dia pasti memberi yang terbaik. Tapi, kalo kita nakal, kita pasti didik, dihajar, ditengking. *ehem, kalo yang terakhir ini cuma becanda*

Semuanya hanya karena Dia ingin yang terbaik buat kita. Tapi, keseringan kita sok tahu. Merasa lebih tahu dari Sang Bapa. Malahan terlalu sering kita sok-sok ngatur. Uhhhm, kayaknya gini deh, Tuhan. Aku pilih dia aja sebagai pasanganku, dan sebagainya. Tapi, Sang Bapa memberi kita kehendak bebas. Salah satu tujuannya adalah untuk membuat kita belajar. Kalopun akhirnya kita jatuh karena kesalahan kita, kemudian kita bilang sama Tuhan: Bapaaaaaa, maaf.. Aku salah. Harusnya aku nurut sama Bapa *nangis bombay* dan bla bla bla. Tuhan tetap menerima kita asalkan jangan lagi ulangi hal yang sama. Tapi, tolong digarisbawahi. Ketika kita memutuskan ikut jalan Tuhan bukan berarti tanpa tantangan. Tantangan tetep ada. Tapi, akan terasa beda karena ada Tuhan yang bersama dengan kita. Setiap jalan-jalan yang dilalui dalam jalanNya, pasti ada proses untuk mendewasakan kita.

Buat si Papa. I do love you so, Dad. You're the best =)

Jadilah bintang-bintang kecil Bapa

Yang selalu bersinar dimanapun anda berada